Tech · December 3, 2024 0

Kecerdasan Buatan di Industri Musik: Ancaman atau Anugerah Bagi Musik?

Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah merambah ke berbagai bidang, tidak terkecuali dengan musik. Hadirnya AI yang dapat mempermudah pekerjaan kerap menuai pro kontra karena hasil yang menyaingi orisinalitas karya manusia. Lantas bagaimana di bidang musik?
Jika di bidang lain, misalnya dunia desain, AI bisa membuat hasil iklan yang menggantikan pekerjaan ilustrator. Hal ini karena AI dapat bekerja dengan data yang sangat banyak dalam sistemnya.

Menurut peneliti di University of Agder, Norwegia, Steiner Jeffs, kekhawatiran AI di dunia visual sangat bisa dipahami. Sebab, teknologi yang menghasilkan teks ke gambar bisa bekerja dengan sangat baik.

Namun, dalam bidang musik, pandangan tentang AI bisa dinilai berbeda. Terutama terkait proses yang bisa menunjang pekerjaan dari para musisi.

“Musisi tetap ingin menciptakan musik karena proses tersebut memiliki nilai tersendiri bagi mereka,” ujar Jeffs, seperti dikutip dari laman resmi University of Agder.

Di sisi lain, proses membuat musik juga memberikan pengetahuan kepada penggemar. Pembuatan lagu yang bisa diketahui oleh penggemar ini, kian populer.

Banyak artis kini merilis versi demo atau berbagi video bagaimana mereka menciptakan lagu di studio. Dengan cara ini penggemar dapat merasakan langsung proses kreatif pembuatan lagu di studio.

“Keinginan terhadap hal-hal yang autentik dan mentah tampaknya semakin meningkat, dan bukan tidak mungkin tren serupa juga akan terjadi dalam seni visual dan bidang lainnya,” ujarnya.

AI Bisa Memengaruhi Kehidupan Musisi
Nyatanya, pekerjaan yang dibantu AI, meski ada positifnya, tetap bisa berdampak pada pendapatan para musisi. Salah satu contohnya adalah layanan streaming yang mengurangi pendapatan musisi dari penjualan rekaman.

Dengan adanya kondisi ini, keberadaan konser menjadi sumber pendapatan utama bagi para musisi. Dalam hal ini, menurut Jeffs, pasar konser tidak bisa “diganggu” AI.

“Orang-orang akan selalu tertarik pada penampilan langsung, dan kita tetap ingin menikmati musik secara live,” kata Jeffs.

Di sisi lain, Jeffs juga mengamati bahwa banyak pekerjaan sampingan yang dulunya menjadi sumber penghasilan musisi kini mulai digantikan oleh AI. Misalnya seperti pembuatan musik latar, jingle untuk radio dan podcast, serta musik untuk film, game, dan iklan.

Bahkan tak bisa dipungkiri, AI berpotensi mengambil alih pekerjaan aransemen untuk paduan suara dan orkestra.

AI Tidak Memberikan Emosi dalam Musik
Meski demikian, Jeffs menegaskan bahwa AI tidak dapat menggantikan emosi yang terkandung dalam musik.

“Manusia masih akan membutuhkan musik yang menciptakan hubungan emosional yang mendalam. Namun, sebagian besar musik yang kita dengar di latar belakang acara realitas, misalnya, mungkin diproduksi menggunakan AI,” kata Jeffs.

Dalam hal ini, Jeffs juga menerangkan bahwa beberapa musisi kini mulai menggunakan AI dalam proses produksi musik mereka. Ada yang menggunakan AI sebagai kolaborator kreatif saat menulis lagu, karena AI memberi mereka kebebasan untuk bereksperimen tanpa takut dikritik.

Selain itu, ada pula yang memanfaatkan kesalahan yang dibuat AI sebagai batu loncatan untuk ide-ide baru.

“Dan ada yang merasa punya lebih banyak waktu untuk berkreasi saat AI menangani tugas-tugas rutin,” kata Jeffs.

Meski punya manfaat itu, AI tetap bisa menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi membuat musik menjadi seragam. Hal ini karena AI bekerja dengan cara memanfaatkan musik yang telah ada untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Musik yang dihasilkan oleh AI pun bisa kehilangan elemen unik yang sering kali muncul dari ketidaksempurnaan.

“Ada yang mengatakan bahwa seniman masa depan akan menguasai seni menyusun deskripsi atau perintah untuk AI. Namun, butuh banyak waktu dan upaya untuk menumbuhkan selera. Bisakah Anda benar-benar menulis perintah yang menghasilkan sesuatu yang menarik jika Anda belum benar-benar mendalami seni tersebut?” tutur Jeffs.

Namun, Jeffs tetap memberikan optimisme bahwa teknologi AI bisa memberikan peluang baru untuk bersaing dengan pemain yang lebih besar. Menurutnya, cara untuk dikenal sebagai seorang artis kini tidak lagi bergantung pada perusahaan rekaman.

“Cara baru untuk dikenal sebagai seorang artis tidak lagi melalui perusahaan rekaman. Lebih sering, hal itu terjadi dalam bentuk mikrokultur, biasanya melalui YouTuber populer atau platform media sosial lainnya,” ungkapnya.

Jeffs juga tetap memperingatkan bahwa jika teknologi tidak digunakan dengan tepat, maka musik bisa menjadi hambar. Jika ini terus dibiarkan, maka generasi musisi berikutnya akan kehilangan kontak dengan seni tersebut.