Pertumbuhan ekonomi yang melambat sering kali memicu perilaku konsumen yang lebih berhati-hati, termasuk dalam pengambilan keputusan untuk membeli kendaraan. Salah satu fenomena terbaru yang muncul adalah praktik jual-beli kendaraan dengan status STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) saja, tanpa disertai BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor). Hal ini bukan hanya berisiko bagi penjual, tetapi juga dapat memengaruhi stabilitas industri pembiayaan.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno memperingatkan bahwa praktek STNK only dapat meningkatkan penyaluran kredit yang macet di kalangan multitasking finance. Banyak kendaraan yang dijual dengan cara ini ternyata belum sepenuhnya lunas dan masih terikat dalam kontrak kredit, yang berpotensi mengguncang ekosistem pembiayaan kendaraan di Indonesia.
“Kondisi ini sangat berbahaya, terutama bagi nasabah yang tidak dapat menyelesaikan cicilan tepat waktu,” tegasnya. Dengan banyaknya kendaraan yang berpindah tangan tanpa ketentuan yang jelas, industri multifinance harus lebih berhati-hati dalam mengevaluasi risiko kredit yang ada.
Fenomena Jual-Beli Kendaraan STNK Only di Indonesia
Praktik jual-beli kendaraan yang hanya dilengkapi STNK telah menjadi fenomena yang semakin umum di media sosial. Banyak penjual memanfaatkan platform online untuk menawarkan kendaraannya tanpa memikirkan akibat hukum yang mungkin timbul, mengabaikan pentingnya kepemilikan dan legalitas kendaraan.
Suwandi menegaskan bahwa jual-beli kendaraan tanpa BPKB dapat menimbulkan kerugian serius, baik bagi pembeli maupun penjual. Selain risiko dikejar pihak deb collector, pembeli juga bisa terjebak dalam masalah hukum yang rumit. Pada kenyataannya, STNK hanya berfungsi sebagai bukti registrasi, bukan bukti kepemilikan.
Kasus ini sering kali berujung pada penarikan kendaraan di jalan, di mana pembeli terpaksa menghadapi konsekuensi hukum yang serius. Banyak yang tidak menyadari bahwa memegang STNK saja tidak memberikan mereka hak penuh atas kendaraan tersebut, menjadi celah untuk masalah hukum yang lebih besar.
Risiko Hukum terkait Pembelian Kendaraan STNK Only
Pembeli kendaraan yang memilih untuk membeli melalui metode STNK only berisiko tinggi terhadap pelanggaran hukum. Jika kendaraan yang dibeli ditarik paksa karena masih menjadi objek pembiayaan, maka konsekuensi hukum yang menanti bisa sangat merugikan pembeli.
Menurut Suwandi, pembeli dapat dianggap sebagai penadah dalam pasal yang berlaku jika mereka tidak melakukan pemeriksaan legalitas yang benar. “Pelanggaran ini dapat dikenakan hukuman penjara selama empat tahun atau denda hingga Rp500 juta,” ujarnya. Kesadaran akan risiko ini sangat penting untuk menghindari masalah hukum yang lebih serius di masa mendatang.
Sering kali, pembeli yang tidak paham tentang legalitas ini menganggap transaksi yang mereka lakukan sebagai hal yang biasa, tanpa menyadari potensi masalah yang akan muncul. Penjual yang juga tidak memahami risiko ini turut berkontribusi pada fenomena ini, menciptakan siklus yang berbahaya.
Dampak Kredit Macet pada Industri Pembiayaan
Data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan tren peningkatan kredit macet di kalangan perusahaan pembiayaan. Angka Non Performing Financing (NPF) mengalami kenaikan dari 0,77% menjadi 0,83% pada November 2025. Dalam jangka panjang, hal ini dapat berujung pada pengetatan syarat kredit yang lebih ketat oleh pihak pembiayaan.
Persentase piutang pembiayaan yang stagnan menjadi perhatian serius, di mana hanya meningkat 0,68% year on year pada bulan yang sama. Oleh karena itu, perusahaan pembiayaan harus mengidentifikasi dan mengelola risiko kredit dengan lebih baik untuk mencegah dampak negatif lebih lanjut terhadap industri.
Tindakan tegas harus diambil oleh otoritas terkait untuk mengatur praktik jual-beli kendaraan STNK only. Jika tidak, bukan hanya konsumen yang akan dirugikan, tetapi juga stabilitas industri pembiayaan secara keseluruhan bisa terancam.
